Unknown Perubahan Iklim bagi Mbah Suripah Tuesday, June 28, 2011 Mbah Ipah , itulah panggilan Mbah Suripah yang sudah berumur 85 tahunan. Bayak hal yang dia sudah lupa akibat kepikunan layaknya oran... 5

Perubahan Iklim bagi Mbah Suripah




Mbah Ipah, itulah panggilan Mbah Suripah yang sudah berumur 85 tahunan. Bayak hal yang dia sudah lupa akibat kepikunan layaknya orang-orang lanjut usia lainnya. Namun tidak pada satu hal ini. “Saiki kok panas banget, tho! Ora koyok biyen. Udane ya dhang thek. Jane saiki wis wayah tandur, yo ora udan-udan” (Sekarang ini panas sekali, tidak seperti dulu. Hujannya juga tidak menentu. Harusnya sekarang sudah musim tanam tapi tidak hujan-hujan). Mbah suripah masih ingat dan bisa merasakan perbedaan suhu udara, musim dulu dan sekarang. Meskipun Mbah Ipah sendiri juga tidak tahu apa itu ‘suhu’ .
Mbah Ipah masih ingat karena saat masa tanam biasanya ikut bantu-bantu menanam, meski tidak seharian. Sedang saat musim panen Mbah Ipah ipil-ipil (memunguti) gabah dari sisa jerami yang sudah dirontokkan. Sebagai seorang nenek tua lagi awam ( memang ada nenek muda ), Mbah suripah tidak tahu menahu tentang perubahan iklim ini. Dia hanya khusnudzon (berprasangka baik) ini sudah kehendak Tuhan.

Nyatanya bukan, jika kita mau mengintrospeksi diri. Ulah manusialah yang menjadikan perubahan iklim seperti sekarang ini. Tuhan hanya sekedar memberi balasan apa yang sudah diperbuat oleh manusia. Bukankah bagi yang beragama islam ada peringatan Tuhan, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari perbuatan mereka, agar mereka kembali.” (QS. AR-Ruum [30]: 41).

Apa yang dirasakan Mbah Ipah ternyata dirasakan hampir oleh semua orang di berbagai belahan bumi. Ini yang disebut pemanasan global. Pemanasan global disebabkan oleh zat-zat penecemar seperti karbondioksida (CO2), metan (CH4) dan oksida nitrat (N2O), perfluorocarbon (PFC), hydrofluorocarbon (HFC) dan sulphur hexafluoride (SF6) di atmosfir bumi. Hal ini yang dipercaya bertanggung jawab terhadap perubahan pola cuaca dan iklim global. Gas-gas tersebut di atmosfir menyebabkan efek rumah kaca pada permukaan bumi.

Sederhananya dapat disamakan dengan atap kaca pada pertanian yang menggunakan rumah kaca. Panas matahari yang berupa radiasi gelombang pendek masuk ke bumi dengan menembus ‘atap’ gas rumah kaca tersebut. Sebagian panas diserap oleh bumi dan sisanya dipantulkan kembali ke luar angkasa sebagai radiasi gelombang panjang. Namun, panas yang seharusnya dipantulkan kembali ke luar angkasa menyentuh permukaan atap dan terperangkap di dalam bumi. Seperti proses dalam pertanian rumah kaca, sebagian panas akan ditahan di permukaan bumi dan menghangatkan bumi. Tanpa efek rumah kaca ini maka suhu di permukaan bumi akan lebih rendah dari yang ada sekarang sehingga tidak memungkinkan adanya kehidupan. Permasalahan muncul ketika konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer bertambah. Dengan meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca, maka akan semakin banyak panas yang ditahan di permukaan bumi dan akan mengakibatkan suhu permukaan bumi menjadi meningkat dan semakin panas. Kondisinya juga akan sama jika suhu bumi terlalu panas. Tidak ada kehidupan!
Berikut gambaran terjadinya efek rumah kaca:





Berdasarkan penelitian, dalam bukunya Mimuroto dan Koizumi (Global Warming Abatement and Coal Supply and Demand) yang diterbitkan oleh Institute of Energy Economics Japan (IEEJ) pada Januari 2003 menyatakan CO2 merupakan gas yang berkontribusi terhadap pemanasan global mencapai lebih dari 64% dari total gas rumah kaca yang ada.





Sebagai tambahan, berdasar penelitian oleh U.S. Environmental protection Agency’s daftar sektor yang menyumbang emisi penyebab efek rumah kaca dari tahun 1990-2007 sebagai berikut:





Sumber: http://www.pewclimate.org/climate-techbook
Perlengkapan elektronik menyumbang 34%, transportasi 28%, industri 20%, perumahan dan perdagangan 11%, pertanian 7%.
Tak ubahnya kondisi di Indonesia, Detik.Com menyebutkan pertumbuhan kendaraan bermotor di Indonesia dalam dekade terakhir ternyata memberi efek buruk bagi lingkungan secara global. Indonesia pun masuk dalam urutan 15 besar dalam daftar penyumbang emisi CO2 di dunia dan menjadi penghasil emisi CO2 terbesar di Asia Tenggara.

Dalam daftar penyumbang emisi gas CO2 di dunia, Indonesia masuk dalam urutan ke 14 karena menyumbang 378 juta metrik ton gas CO2, lebih tinggi dari Prancis yang berada di urutan 15 dengan 373 juta metrik ton.
Kita harus malu pada Mbah Ipah jika kita adalah seorang pemilik pabrik, pengusaha angkutan, penikmat mobil atau motor dan sama sekali tidak memiliki andil dalam upaya penanggulangan pemanasan global. Padahal sumber emisi terbesar berasal dari kita. Boleh jadi Mbah Ipah menghasilkan Co2 pada saat bernafas, waktu masak, dan (maaf) ketka kentut, tapi Mbah Ipah sudah memberi sumbangsih peyediaan O2 dari padi yang dia tanam. Coba apa yang sudah kita sumbangkan?

Belajar Mbah Ipah, tampaknya kita perlu melakukan hal-hal kecil (syukur-syukur besar) untuk menyelamatkan bumi. Mari kita mulai dari diri kita sendiri. Yang jadi guru ajarkan murid-murid mencintai dan menjaga lingkungan. Yang jadi murid patuhi guru, cintai guru (ehm… cintai alam). Yang duduk di DPR tolong dibuatkan perundang-undangan tentang pengelolaan alam yang baik ( kok malah merintah ) yang duduk dipemerintahan laksanakan pengelolaan alam yang baik dan benar. Jangan dikorupsi.
Secara pribadi kita bisa meminimalkan gas-gas penyebab rumah kaca misalnya:
1. Gunakan sepeda atau berjalan kaki untuk aktivitas jarak dekat

2. Kurangi pemakaian kendaraan pibadi dan utamakan kendaraan umum

3. Gunakan perlengkapan elektronik seperlunya
4. Matikan lampu jika sudah terang atau saat tidak digunakan. Maksimalkan pencahayaan alam

5. Nyalakan TV hanya saat ditonton, jangan biarkan TV tetap menyala saat tidur

6. Jangan terlalu dingin jika menghidupkan AC

7. Gunakan ulang atau daur ulang perlengkapaan atau bahan yang memungkinkan, dan sebagainya.

Ayo (anak-anak) apa lagi? he… he… he…
Berikut peta konsep yang mungkin bisa kita lakukan dalam keseharian kita untuk menyelamatkan alam:





Usia bumi kita boleh semakin tua seperti mbah Ipah, namun harus tetap ceria seperti anak-anak, tetap lincah seperti remaja dan kuat seperti orang dewasa. Hal itu tidak akan mungkin terjadi jika kita yang menempatinya memperlakukan bumi seenaknya, membiarkan bahkan memberi ‘hormon’ penua berupa emisi yang memanaskan bumi. Bumi menjadi tua sebelum waktunya, bahkan (mungkin) mati sebelum saatnya.
Sekali lagi tergantung kita!

Sumber :
biologi.blogsome.com
21

Related Posts On Materi Biologi

No comments:


Copyright © Desa Loyang

Sponsored By: Free For Download Template By: Fast Loading Seo Friendly Blogger Template